Hukum Keawarisan di Indonesia
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi
tugas mata kuliah
“FIQH”
Dosen
pembimbing
M.
Bisri Djalil M, Ag
Disusun oleh:
1.
FAHMI
FAKHRUDDIN G (933102515)
2.
RIADLOTUL
JANNAH (933100615)
JURUSAN
USHULUDDIN
PRODI
PERBANDINGAN AGAMA
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KEDIRI
2016
BAB
I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Atas berkat rahmat
Allah Yang Maha Kuasa akhirnya kita bisa menyelesaikan tugas makalah ini yang
meskipun jauh dari kata kesempurnaan dan banyak kekurangan namun setidaknya
kami sedikit lebih tahu mengenai bab ini “HUKUM KEWARISAN di INDONESIA”.
Berbicara tentang judul
ini kita harus mengetahui di dalam Syariat Islam menetapkan aturan waris dengan
bentuk yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan
harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan.
Umat Islam di Indonesia
untuk menjalankan Syariat Islam dan berhukum dengan Islam. Namun idealisme
serta harapan ini bukanlah hal yang mudah akan tetapi membutuhkan perjuangan,
pengorbanan, serta upaya yang maksimal dalam rangka merealisasikannya. Meskipun
demikian, umat Islam di Indonesia layak bersyukur, walaupun sampai saat ini
hukum masih berlaku di Indonesia adalah hukum konvensional, namun ada beberapa
aspek-aspek kehidupan yang masih menerapkan hukum Islam.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah
di atas, maka rumusan masalah dalam pembuatan
tugas
makalah ini dapat kami uraikan sebagai berikut:
1. Bagaimana
hukum waris di Indonesia ?
2. Apa
Urgensi Reformulasi Kewarisan ?
3. Apa
prinsip dan muatan kewarisan dalam KHI ?
C.
Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini pada hakekatnya
merupakan sesuatu yang hendak dicapai dan dapat memberikan arahan dan
penjelasan yang akan dilakukan. Berpijak pada rumusan masalah diatas, maka
tujuan yang akan dicapai dalam makalah ini sebagai berikut:
1. Untuk
memahami hukum waris di Indonesia
2. Untuk
mengetahui urgensi reformulasi kewarisan
3. Untuk
mengetahui prinsip dan muatan kewarisan dalam KHI
BAB
II
Pembahasan
A.
Hukum
Kewarisan di Indonesia
1. Keawarisan di
Indonesia
Dalam hukum Islam tidak
terdapat lembaga warisan (heredis institutio), dan wasiat terbatas pada
pembuatan wasiat-wasiat dan penunjukkan seorang pelaksana/perwakilan. Hukum
warisan menetapkan bahagian tetap dengan mengutamakan pewaris dari kerabat
dekat sampai yang jauh. Tidak terdapat perwarisan yang universal (successio in
universum).[1]
Hukum
kewarisan dalam Islam merupakan aturan yang sebagiannya telah mapan dan dengan
detail ditetapkan dalam al-Qur’an. Terdapat beberapa ayat dalam al-Qur’an yang
dengan jelas memberikan panduan tentang pembagian harta waris, terutama terkait
dengan detail bagian-bagian dari beberapa keolmpok ahli waris. Ayat-ayat
tersebut terdapat dalam surah al-Nisa’/4, yaitu ayat 11,12,33, dan 176. Selain
ayat-ayat tersebut, beberapa hadis Nabi Muhammad juga menjelaskan dengan
bagian-bagian dari orang tertentu yang tidak ditetapkan dalam al-Qur’an,
seperti bagian anak perempuan, saudara perempuan, dan cucu perempuan dari anak
lali-laki. Dari beberapa aturan hukum yang dijabarkan dari ayat-ayat tersebut,
beberapa prinsip kewarisan Islam bisa disimpulkan bahwa pihak laki-laki
memperoleh bagian lebih banyak dari pihak perempuan, baik ketika mereka menjadi
anak, suami, dan bapak.
Di Indonesia pada
umumnya aturan kewarisan mengadopsi aturan yang ada dalam buku-buku fikih, yang
merujuk pada nash al-Qur’an, teks hadis Nabi, dan ijma’ fukaha. Namun, dalam
bebrapa hal KHI mengakomodir tradisi lokal dan tuntutan beberapa pihak,
terutama wanita.[2]
2.
Urgensi
Reformulasi Kewarisan
Secara konseptual,
hukum Islam dipersepsi sebagai hukum yang universal, dinamis, elasti, dan
fleksibel, sehingga mampu menampung pelbagai bentuk perkembangan. Dalam tataran
empirik-historis, penerapan prinsip-prinsip tersebut telah melahirkan
karya-karya gemilang yang monumental dalam bidang hukum Islam sesuai dengan
tingkat perkembangan masyarka dan tuntutan sosiokultural.
Hasil persentuhan
antara prinsip-prinsip universal hukum Islam dengan tuntutan pranata sosial dan
realistas kehidupan masyarakat dapat memunculkan pelbagai madzhab fiqh. Seperti
Fiqh Hijaz, yang terbentuk atas dasar adat istiadat yang berlaku di Hijaz; Fiqh
Mesir, yang bersumber pada sosiokultural Mesir. Atau Fiqh Hindi, yang terbentuk
atas dasar dan sumber pada ‘urf yang berlaku di India; dan Fiqh Iraq, yang
bersumber pada kebiasaan masyarakat Iraq.
Mengingat di dalam fiqh
tersebut terdapat beberapa bagian yang sangat dominan dipengaruhi oleh sosiokultural
masyarakat Timur Tengah, maka sangat beralasan apabila fiqh-fiqh tersebut tidak
semuanya sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat, yang memiliki hukum-hukum
kebiasaan yang berbeda dengan negara-negara lain. Hal demikian sebenarnya sudah
disadari sejak waktu yang telah lama. Sejarah mencatat, terdapatnya dua tokoh
dalam bidang hukum Islam di Indonesia, yaitu almarhum Hazairin dan T.M. Hasbi
As-Shidieqy yang menganjurkan disusunnya Fiqh Islam Indonesia, yang
berorientasi kepada kepentingan, kebutuhan, dan kesadaran hukum masyarakat
Islam Indonesia berdasarkan Syari’at Islam yang abadi yang terdapat dala
al-Qur’an dan al-Hadits. Kearifan para elit Muslim itu telah menyadarkan para
ahli hukum Islam lainnya untuk menggagas adanya reformulasi hukum Islam dalam
bidang kewarisan yang berwawasan keIndonesiaan.
Dari dimensi lain,
perihal pentingnya dilakukan reformulasi, dalam arti merumuskan kembali hukum
Islam yang berlaku dan berkembang di Indonesia , khususnya daalam bidang hukum
kewarisan Islam semata-mata adalah memberikan jawaban atas permasalahan yang
terdapat dalam sistem hukum kewarisan Islam itu sendiri dan beberapa
kekososngan hukum yang terdapat di dalamnya. Misalnya, mengenai hukum warisan
yang berkenaan dengan sistem pembagian
“sepikulsegendong”, dalam arti kata harta yang dihasilkan selama
perkawinan itu dibelah dua , sebelah untuk suami dan sebelah lagi untuk istri.
Dalam realistas
kehidupan pemberian waris. Di Minangkabau misalanya, dikenal harta pusaka
tinggi dan harta pusaka rendah, tentang waris istri dan lmbaga wasiat. Di Jawa
Timur pelaksanaan hukum waris istri yang didasarkan atas adat kebiasaan pada
dasarnya sama dengan hukum waris Islam dengan beberapa variasi penyesuaian dengan hukum adat. Penyesuaian
tersebut pada dasarnya mendapat pembenaran melalui lembaga-lembaga hukum yang
ada dalam hukum Islam, seperti al-istihsan
(untuk menjaga perasaan keadilan menurut
tataran Indonesia ), lembaga hibah, lembaga tashaluh (al-istishlah),
dan waiat wajibah. Di Jawa Tengah
dikenal pula ketentuan , bahwa anak yang pernah menerima pemberian orang
tuanya. Pemebrian seperti itu dipandang sebagai kearisan yang telah
dilaksanakan semasa hidup pewaris (muwaris).
3.
Prinsip
dan Muatan Kewarisan KHI
Secara umum, garis
hukum yang dirumuskan dalam KHI mempedomani kaidah-kaidah hukum yang terdapat
dalam faraidh. Dalam hal ini secara substansial kandungan hukum Buku II KHI
tentang Kewarisan tidak banyak berbeda dengan prinsip-prinsip kewarisan
sebagaiman telah dirumuskan para faqih dalam fiqh fara’idh. Namun demikian,
ditemukan beberapa pasal yang bersifat melengkapi sebagai hasil modifikasi
dengan kondisi lokal yang menuntut pengaturan lebih pasti dan rinci.
a. Pelembagaan
Harta Bersama
Pada dasarnya, harta
warisan yang berkenan dengan dengan “harta bersama” yang diperoleh suami istri
selama perkawinan berlangsung dilakukan dengan sistem pembagian
“sepikul-segendog”. Dalam hal ini, apabila perkawinan pecah-putus, maka harta
bersama dibagi dua bagian, sebagainuntuk suami dan sebagian untuk istri. Begitu
juga apabila salah seorang meninggal dunia, maka sebelum dilakukan pembagian
waris, terlebih dahulu dua bagian untuk slah seorang yang masih hidu dua bagian
untuk slah seorang yang masih hidup sebagian dan untuk suami/istri yang
meninggal dunia (seolah-olah ia hidup) menerima sebagiannya lagi.
Ketentuan harta bersama
itu, tidak dijumpai dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Begitu pula di dalam
pelbagai literatur yang ditulis para pakr fiqh mawaris, belum ditemukan kajian
yang secara fokus berkaitan dengan harta bersama. Para fuqaha pun cenderung
mengabaikan masalah ini, sehingga terkesan tidak terdapat peran istri dalam
rumah tangga, termasuk dalam masalah finansial; karena situasi dan keadaan
masyarakat yang terjadi dan berkembang pada saat itu. Adapun dewasa ini, termasuk
di Indonesia, keadaan telah berubah. Persoalan yang dahulu belum terpikirkan
satu demi satu mulai muncul ke permukaan. Tuntutan kehidupan (living demand) semakin meningkat sejalan
dengan tuntutan kebutuhan dan perkembangan zaman. Semetara dalam kehidupan keluarga
di Indonesia, secara nyata keberadaan harta bersama merupakan hukum adat yang
masihhidup dan mengkristal dalam masyarakat.
Dari
segi sosio-budaya masyarakat Indonesia, harra kekayaan dalam perkawinan dapat
dikualifikasikan menjadi dua: Pertama,
harta milik masing-masing suami istri. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur disebut gono atau ghawan;
di Sumatra disebut pusaka; dan di
Ssulawesi disebut sisila. Kedua, harta campur kaya – rajakaya. Di
Jwa Timur disebut dengan gono gini; di
Jawa Barat disebut guna kaya (campur
kaya); di Minangkabau disebutharta
suarang. Adapun di Banda Aceh disebut hareuta
seuhareukat. Seluruh harta campur kaya itu menjadi harta milik bersama
suami-istri.
Menurut
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 35 ayat(1), harta bersama itu adalah
harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Rumusan harta bersama ini secara
implisit ditemukan dalam Pasal 171 sub (e) KHI. Penyebutan hata bersama
terungkap dalam bingkaikalimat, bahwa harta bersama ini sterungkap dalam
bingkai kalimat , bahwa harta warisan adalah harta bawaan ditambah dengan
bagian harta bersaa setelah digunakan untuk keperluan pewaris (muwaris-pen)
selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian
untuk kerabat.
Dari
rumusan itu dapat dipahami bahwa harta bersama itu merupakan bagian dari harat
warisan dan terpisah dari harta bwaan (harta pribadi) masing-masing. Harta
pribadi tetap menjadi milik pribadi dan dikuasai sepenuhnya oleh pemiliknya
(suami atau istri). Harta bersama menjadi hak bersama suami-istri dan terpisah
sepenuhnya dari harta pribadi. Harta bersama itu dapat berupa benda berwujud
dan benda tidak bergerak, termasuk surat-surat berharga. Adapun harta yang
tidak berwujud dapat berupa hak dan kewajiban.
Terwujudnya
harta bersama dihitung sejak tanggal perkawinan dilangsungkan, tanpa
mempersoalkan suami atau istri yang mencari, juga tanpa mempersoalkan atas nama
siapa harta itu terdaftar. Begitu pula dalam distribusi, tanpa persetujuan
bersama, suami atau istri tidak boleh mengasingkan atau memindahkan harta
bersama. Namun untuk meutupi hutang yang digunakan bagi kepentingan keluarga,
pembayarannya dibebankan kepada harta bersama. Dalam perkawinan poligini (beristri lebih dari satu)
wujud harta bersam itu terpisah antara suami dengan masing-masing istri.
Apabila
perkawinan pecah (cerai), posisi harta bersama dibagi dua: masing-masing pihak
mendapat setengah bagian. Harta bersama itu diakui sebgai bagian dari harta
warisan, sehingga apabila terjadi cerai mati, dipisahkan terlebih dahulu antara
bersama dengan harta bawaan (ghawan),
kemudian harta bersama itu dibelah dan dibagi dua antara suami dengan istri.
Bagian untuk salah seoag suami atau istri yang meninggal dunia it menjadi tirkah. Dengan demikian, harta peninggalan
yang diterima ahli waris meliputi harta bawaan ditambah dengan bagian dari
harta bersama.
Selanjutnya,
masing-masing suami istri yang menjadi ahli waris itu menerima bagian dari muwaris-nya sebagaiman diatur dalam
Surah al-Nisa’ ayat 12. Dalam surah
al-Nisa’ ayat 12 Allah mengakhirinya dengan ‘alimn halimun. Kata ‘alimun mengisyarahkan
bahwa ketentuan wars itu didasarkan kepada kemaha-Tahuan Allah SWT tentang
hikmah dan manfaatnya. Adapun kata halimun
menunjukkan bahwa Allah tidak akan menghukum atau menyiksa secara langsung
kepada orag yang melanggar ketentuan atau aturan-Nya itu, akan tetapi mundanya
sampai akhir kiamat nanti.
b. Pori
Anak Perempuan
Porsi Anak Perempuan
tidakmengalami reaktualisasi. Pasal 176 KHI mengatur besarnya bagian anak perempuan,
baik seorng, berbilang (fauqasnatain), maupun
bersama-sam dengan anak laki-laki. Ketentuan tersebut berpedoman kepada Surah
Al-Nisa: 11. Dalam hal ini, anak perempuan dan anak laki-laki mendapatkan
bagian sebgagai berikut:
1) Seorang
anak permpuan mendapat setengah (1/2).
2) Dua
orang anak perempuan atau lebih duapertiga (2/3).
3) Formulasibagian
anak laki-laki dan anak perempuan 2:1.
c. Formulasi
Bagian Ayah
Dengan
semangat memperhatikan adanya kepastian hukum bagian untuk ayah mengalami
reformasi. Hal itu diatur dalam pasal 177 KHI sebagai berikut:
1) Ayah
mendapat bagian sepertiga (1/3) jika muwaris tidak meninggalkan anak;
2) Ayah
mendapat bagian seperenam (1/6) jika meninggalkan anak;
d. Peluang
Perdamaian dalam Pembagian
KHI mengapresiasi semangat perdamaian (al-shulh), yang didasrkan atas
kesepakatan bersma. Melalui Psal183 Khi, pembagian waris dapat ditempuh melalui
perdamaian, yaitu setelah disepakati oleh para ahlli waris mengenai jumlah
bagian yang menyimpang dari ketentuan Pasal 176 KHI. Dalam hal ini, para ahli
waris harus mengetahui dan menydari terlebih dahulu bagiannya masing-masing.
Selanjutnya para ahli waris menyepakati langkah pembagian yang akan dilakukan
berikutnya, misalnya sebagian hak ahli waris yang perekonomiannya masih lemah,
sehingga secara kumulatif bagian masing-masing menjadi berubah dan berbeda dari
ketentuan normatif Pasal 176 KHI.
e. Penertiban
warisan anak yang belum dewasa
Dalam rangka melakukan penertiban warisan yang diperoleh
anak yang belum dewasa diangkat “wali”, sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KHI,
yang menggariskan:
1) Untuk
menjamin terpeliharanya keutuhan harta waris yang menjadi bagian anak yang
belum dewasa, diangkat”wali”;
2) Pengangkatan
wali berdasarkan putusan Pengadilan Agama;
3) Perwalian
berlangsung s.d. anak berumur 21 tahun (pasal 107 KHI);
4) Wali
sedapat mungkin dari keluarga anak (Pasal 107 ayat 4 KHI);
5) Perwalian
meliputi diri dan harta kekayaan si anak (Pasal 107 ayat 2 Khi);
6) Wali
bertanggung jawab atas harta yang berada di bawah perwaliannya (pasal 10 ayat 3
KHI);
7) Wali
dilarang mengikat, mebebani, dan mengasingkan harta yang berda di bawah
perwaliannya (Pasal 110 ayat 2 KHI);
8) Pertanggung
jawaban wali harus dibuktikan dengan pembukuan yang ditutup setiap tahun sekali
(pasal 110 ayat 4 KHI).
f. Ahli
WarisPengganti
Ahli Waris Pengganti dapat dipahami melembagakan Plaatsvervulling (penggantian tempat)
secara modifikasi. Pasal 185 KHI menagtur Ahli waris Pengganti (AWP).
Penerimaan lembaga AWP ini tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang
sederajat dengan yang diganti. Misalnya, apabila AWP seorang saja dan ayahnya
hanya mempunyai seorang saudara perempuan saja, maka harta waris dibagi dua
antara AWP dengan bibinya.
g. Lahan
Pertnian Kurang 2 hektar
Perihal harta warisan yang luasnya kurang dari 2 hektar,
maka pasal 189 KHI mengatur sebagai berikut:
1) Dalam
ayat (1) diatur : Apabila harta peninggalan berupa lahan pertanian yang luasnya
kurang dari 2 hektar, maka harta warisan itu supaya dipertahankan kesatuannya
sebagiaman semula dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama paraahli waris
yang bersangkutan,
2) Dalam
ayat (2) diterangkan: Bila ketentuan tersebut (ayat 1) tidak dimungkinkan
karena di antara para ahli warus yang bersangkutan ada yang memerlukan uang,
maka lahan tersebut dapat dimiliki oleh seorang ahli waris atau lebih dengan
cara membayar harganya kepada ahli waris yang berhak sesuai degan bagiannya
masing-masing.
h. Modekasi
Wasiat Wajibah
Pasal209 ayat (2) Khi mengatur tentang wasiat wajibah.
Dalam pengertian ini waiat wajibah berarti “suatu perbuatan wasiat yang secara
hukum harus dipandang ada, meskipun wasiat itu tidak pernah ada”. Wasiat
wajibah itu mengatur wasiat karena adanya hubungan kemanusiaan antara anak
angkat dengan ayah/ibu angkatnya.
Pasal 209 KHI itu alih-alih sebagai strategi menempatkan
staus anak angkat di luar ahli wris dengan modekasi melalui “wasiat wajibah”.
Peristiwa Zaid bin Haritsah sangat kental dalam ingatan para perumus KHI,
sehingga tidak ada yang berani memasukan anak angkat ke dalam lajur ahli waris.
Dalam Pasal 171 huruf h KHI dijelaskan, bahwa: Status anak angkat itu hanya
terbatas pada peralihan:
1)
Pemeliharaan
hidup sehari-hari;
2)
Tanggungjawab
pendidikan yang keabsahan statusnya didasarkan atas putusan pengadilan.
Kesimpulan
Di Indonesia pada umumnya aturan kewarisan mengadopsi
aturan yang ada dalam buku-buku fikih, yang merujuk pada nash al-Qur’an, teks
hadis Nabi, dan ijma’ fukaha. Namun, dalam bebrapa hal KHI mengakomodir tradisi
lokal dan tuntutan beberapa pihak, terutama wanita.
Mengingat di dalam fiqh tersebut terdapat beberapa bagian
yang sangat dominan dipengaruhi oleh sosiokultural masyarakat Timur Tengah,
maka sangat beralasan apabila fiqh-fiqh tersebut tidak semuanya sesuai dengan
kesadaran hukum masyarakat, yang memiliki hukum-hukum kebiasaan yang berbeda
dengan negara-negara lain.
Almarhum Hazairin dan
T.M. Hasbi As-Shidieqy yang
menganjurkan disusunnya Fiqh Islam Indonesia, yang berorientasi kepada
kepentingan, kebutuhan, dan kesadaran hukum masyarakat Islam Indonesia
berdasarkan Syari’at Islam yang abadi yang terdapat dala al-Qur’an dan
al-Hadits. Kearifan para elit Muslim itu telah menyadarkan para ahli hukum
Islam lainnya untuk menggagas adanya reformulasi hukum Islam dalam bidang
kewarisan yang berwawasan keIndonesiaan.
Secara umum, garis hukum yang dirumuskan dalam KHI
mempedomani kaidah-kaidah hukum yang terdapat dalam faraidh.
Comments
Post a Comment