Skip to main content

Hukum kewarisan di Indonesia



Hukum Keawarisan di Indonesia
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
“FIQH

Dosen pembimbing
M. Bisri Djalil M, Ag

 

Disusun oleh:
1.      FAHMI FAKHRUDDIN G        (933102515)
2.      RIADLOTUL JANNAH             (933100615)


JURUSAN USHULUDDIN
PRODI PERBANDINGAN AGAMA
SEKOLAH TINGGI  AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KEDIRI
2016




BAB I
Pendahuluan


A.    Latar Belakang
Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa akhirnya kita bisa menyelesaikan tugas makalah ini yang meskipun jauh dari kata kesempurnaan dan banyak kekurangan namun setidaknya kami sedikit lebih tahu mengenai bab ini “HUKUM KEWARISAN di INDONESIA”.
Berbicara tentang judul ini kita harus mengetahui di dalam Syariat Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan.
Umat Islam di Indonesia untuk menjalankan Syariat Islam dan berhukum dengan Islam. Namun idealisme serta harapan ini bukanlah hal yang mudah akan tetapi membutuhkan perjuangan, pengorbanan, serta upaya yang maksimal dalam rangka merealisasikannya. Meskipun demikian, umat Islam di Indonesia layak bersyukur, walaupun sampai saat ini hukum masih berlaku di Indonesia adalah hukum konvensional, namun ada beberapa aspek-aspek kehidupan yang masih menerapkan hukum Islam.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam pembuatan
tugas makalah ini dapat kami uraikan sebagai berikut:
1.      Bagaimana hukum waris di Indonesia ?
2.      Apa Urgensi Reformulasi Kewarisan ?
3.      Apa prinsip dan muatan kewarisan dalam KHI ?

C.    Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini pada hakekatnya merupakan sesuatu yang hendak dicapai dan dapat memberikan arahan dan penjelasan yang akan dilakukan. Berpijak pada rumusan masalah diatas, maka tujuan yang akan dicapai dalam makalah ini sebagai berikut:
1.      Untuk memahami hukum waris di Indonesia
2.      Untuk mengetahui urgensi reformulasi kewarisan
3.      Untuk mengetahui prinsip dan muatan kewarisan dalam KHI



  
BAB II
Pembahasan
A.    Hukum Kewarisan di Indonesia

1.      Keawarisan di Indonesia
Dalam hukum Islam tidak terdapat lembaga warisan (heredis institutio), dan wasiat terbatas pada pembuatan wasiat-wasiat dan penunjukkan seorang pelaksana/perwakilan. Hukum warisan menetapkan bahagian tetap dengan mengutamakan pewaris dari kerabat dekat sampai yang jauh. Tidak terdapat perwarisan yang universal (successio in universum).[1]
            Hukum kewarisan dalam Islam merupakan aturan yang sebagiannya telah mapan dan dengan detail ditetapkan dalam al-Qur’an. Terdapat beberapa ayat dalam al-Qur’an yang dengan jelas memberikan panduan tentang pembagian harta waris, terutama terkait dengan detail bagian-bagian dari beberapa keolmpok ahli waris. Ayat-ayat tersebut terdapat dalam surah al-Nisa’/4, yaitu ayat 11,12,33, dan 176. Selain ayat-ayat tersebut, beberapa hadis Nabi Muhammad juga menjelaskan dengan bagian-bagian dari orang tertentu yang tidak ditetapkan dalam al-Qur’an, seperti bagian anak perempuan, saudara perempuan, dan cucu perempuan dari anak lali-laki. Dari beberapa aturan hukum yang dijabarkan dari ayat-ayat tersebut, beberapa prinsip kewarisan Islam bisa disimpulkan bahwa pihak laki-laki memperoleh bagian lebih banyak dari pihak perempuan, baik ketika mereka menjadi anak, suami, dan bapak.
Di Indonesia pada umumnya aturan kewarisan mengadopsi aturan yang ada dalam buku-buku fikih, yang merujuk pada nash al-Qur’an, teks hadis Nabi, dan ijma’ fukaha. Namun, dalam bebrapa hal KHI mengakomodir tradisi lokal dan tuntutan beberapa pihak, terutama wanita.[2]

2.      Urgensi Reformulasi Kewarisan
Secara konseptual, hukum Islam dipersepsi sebagai hukum yang universal, dinamis, elasti, dan fleksibel, sehingga mampu menampung pelbagai bentuk perkembangan. Dalam tataran empirik-historis, penerapan prinsip-prinsip tersebut telah melahirkan karya-karya gemilang yang monumental dalam bidang hukum Islam sesuai dengan tingkat perkembangan masyarka dan tuntutan sosiokultural.
Hasil persentuhan antara prinsip-prinsip universal hukum Islam dengan tuntutan pranata sosial dan realistas kehidupan masyarakat dapat memunculkan pelbagai madzhab fiqh. Seperti Fiqh Hijaz, yang terbentuk atas dasar adat istiadat yang berlaku di Hijaz; Fiqh Mesir, yang bersumber pada sosiokultural Mesir. Atau Fiqh Hindi, yang terbentuk atas dasar dan sumber pada ‘urf yang berlaku di India; dan Fiqh Iraq, yang bersumber pada kebiasaan masyarakat Iraq.
Mengingat di dalam fiqh tersebut terdapat beberapa bagian yang sangat dominan dipengaruhi oleh sosiokultural masyarakat Timur Tengah, maka sangat beralasan apabila fiqh-fiqh tersebut tidak semuanya sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat, yang memiliki hukum-hukum kebiasaan yang berbeda dengan negara-negara lain. Hal demikian sebenarnya sudah disadari sejak waktu yang telah lama. Sejarah mencatat, terdapatnya dua tokoh dalam bidang hukum Islam di Indonesia, yaitu almarhum Hazairin dan T.M. Hasbi As-Shidieqy yang menganjurkan disusunnya Fiqh Islam Indonesia, yang berorientasi kepada kepentingan, kebutuhan, dan kesadaran hukum masyarakat Islam Indonesia berdasarkan Syari’at Islam yang abadi yang terdapat dala al-Qur’an dan al-Hadits. Kearifan para elit Muslim itu telah menyadarkan para ahli hukum Islam lainnya untuk menggagas adanya reformulasi hukum Islam dalam bidang kewarisan yang berwawasan keIndonesiaan.
Dari dimensi lain, perihal pentingnya dilakukan reformulasi, dalam arti merumuskan kembali hukum Islam yang berlaku dan berkembang di Indonesia , khususnya daalam bidang hukum kewarisan Islam semata-mata adalah memberikan jawaban atas permasalahan yang terdapat dalam sistem hukum kewarisan Islam itu sendiri dan beberapa kekososngan hukum yang terdapat di dalamnya. Misalnya, mengenai hukum warisan yang berkenaan dengan sistem pembagian  “sepikulsegendong”, dalam arti kata harta yang dihasilkan selama perkawinan itu dibelah dua , sebelah untuk suami dan sebelah lagi untuk istri.
Dalam realistas kehidupan pemberian waris. Di Minangkabau misalanya, dikenal harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah, tentang waris istri dan lmbaga wasiat. Di Jawa Timur pelaksanaan hukum waris istri yang didasarkan atas adat kebiasaan pada dasarnya sama dengan hukum waris Islam dengan beberapa variasi  penyesuaian dengan hukum adat. Penyesuaian tersebut pada dasarnya mendapat pembenaran melalui lembaga-lembaga hukum yang ada dalam hukum Islam, seperti al-istihsan (untuk menjaga perasaan keadilan menurut  tataran Indonesia ), lembaga hibah, lembaga tashaluh (al-istishlah), dan waiat wajibah. Di Jawa Tengah dikenal pula ketentuan , bahwa anak yang pernah menerima pemberian orang tuanya. Pemebrian seperti itu dipandang sebagai kearisan yang telah dilaksanakan semasa hidup pewaris (muwaris).

3.      Prinsip dan Muatan Kewarisan KHI
Secara umum, garis hukum yang dirumuskan dalam KHI mempedomani kaidah-kaidah hukum yang terdapat dalam faraidh. Dalam hal ini secara substansial kandungan hukum Buku II KHI tentang Kewarisan tidak banyak berbeda dengan prinsip-prinsip kewarisan sebagaiman telah dirumuskan para faqih dalam fiqh fara’idh. Namun demikian, ditemukan beberapa pasal yang bersifat melengkapi sebagai hasil modifikasi dengan kondisi lokal yang menuntut pengaturan lebih pasti dan rinci.
a.       Pelembagaan Harta Bersama
Pada dasarnya, harta warisan yang berkenan dengan dengan “harta bersama” yang diperoleh suami istri selama perkawinan berlangsung dilakukan dengan sistem pembagian “sepikul-segendog”. Dalam hal ini, apabila perkawinan pecah-putus, maka harta bersama dibagi dua bagian, sebagainuntuk suami dan sebagian untuk istri. Begitu juga apabila salah seorang meninggal dunia, maka sebelum dilakukan pembagian waris, terlebih dahulu dua bagian untuk slah seorang yang masih hidu dua bagian untuk slah seorang yang masih hidup sebagian dan untuk suami/istri yang meninggal dunia (seolah-olah ia hidup) menerima sebagiannya lagi.
Ketentuan harta bersama itu, tidak dijumpai dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Begitu pula di dalam pelbagai literatur yang ditulis para pakr fiqh mawaris, belum ditemukan kajian yang secara fokus berkaitan dengan harta bersama. Para fuqaha pun cenderung mengabaikan masalah ini, sehingga terkesan tidak terdapat peran istri dalam rumah tangga, termasuk dalam masalah finansial; karena situasi dan keadaan masyarakat yang terjadi dan berkembang pada saat itu. Adapun dewasa ini, termasuk di Indonesia, keadaan telah berubah. Persoalan yang dahulu belum terpikirkan satu demi satu mulai muncul ke permukaan. Tuntutan kehidupan (living demand) semakin meningkat sejalan dengan tuntutan kebutuhan dan perkembangan zaman. Semetara dalam kehidupan keluarga di Indonesia, secara nyata keberadaan harta bersama merupakan hukum adat yang masihhidup dan mengkristal dalam masyarakat.
            Dari segi sosio-budaya masyarakat Indonesia, harra kekayaan dalam perkawinan dapat dikualifikasikan menjadi dua: Pertama, harta milik masing-masing suami istri. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur disebut gono  atau ghawan; di Sumatra disebut pusaka; dan di Ssulawesi disebut sisila. Kedua, harta campur kaya – rajakaya. Di Jwa Timur disebut dengan gono gini; di Jawa Barat disebut guna kaya (campur kaya); di Minangkabau disebutharta suarang. Adapun di Banda Aceh disebut hareuta seuhareukat. Seluruh harta campur kaya itu menjadi harta milik bersama suami-istri.
            Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 35 ayat(1), harta bersama itu adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Rumusan harta bersama ini secara implisit ditemukan dalam Pasal 171 sub (e) KHI. Penyebutan hata bersama terungkap dalam bingkaikalimat, bahwa harta bersama ini sterungkap dalam bingkai kalimat , bahwa harta warisan adalah harta bawaan ditambah dengan bagian harta bersaa setelah digunakan untuk keperluan pewaris (muwaris-pen) selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.
            Dari rumusan itu dapat dipahami bahwa harta bersama itu merupakan bagian dari harat warisan dan terpisah dari harta bwaan (harta pribadi) masing-masing. Harta pribadi tetap menjadi milik pribadi dan dikuasai sepenuhnya oleh pemiliknya (suami atau istri). Harta bersama menjadi hak bersama suami-istri dan terpisah sepenuhnya dari harta pribadi. Harta bersama itu dapat berupa benda berwujud dan benda tidak bergerak, termasuk surat-surat berharga. Adapun harta yang tidak berwujud dapat berupa hak dan kewajiban.
            Terwujudnya harta bersama dihitung sejak tanggal perkawinan dilangsungkan, tanpa mempersoalkan suami atau istri yang mencari, juga tanpa mempersoalkan atas nama siapa harta itu terdaftar. Begitu pula dalam distribusi, tanpa persetujuan bersama, suami atau istri tidak boleh mengasingkan atau memindahkan harta bersama. Namun untuk meutupi hutang yang digunakan bagi kepentingan keluarga, pembayarannya dibebankan kepada harta bersama. Dalam perkawinan poligini (beristri lebih dari satu) wujud harta bersam itu terpisah antara suami dengan masing-masing istri.
            Apabila perkawinan pecah (cerai), posisi harta bersama dibagi dua: masing-masing pihak mendapat setengah bagian. Harta bersama itu diakui sebgai bagian dari harta warisan, sehingga apabila terjadi cerai mati, dipisahkan terlebih dahulu antara bersama dengan harta bawaan (ghawan), kemudian harta bersama itu dibelah dan dibagi dua antara suami dengan istri. Bagian untuk salah seoag suami atau istri yang meninggal dunia it menjadi tirkah. Dengan demikian, harta peninggalan yang diterima ahli waris meliputi harta bawaan ditambah dengan bagian dari harta bersama.
            Selanjutnya, masing-masing suami istri yang menjadi ahli waris itu menerima bagian dari muwaris-nya sebagaiman diatur dalam Surah al-Nisa’ ayat 12. Dalam surah  al-Nisa’ ayat 12 Allah mengakhirinya dengan ‘alimn halimun. Kata ‘alimun mengisyarahkan bahwa ketentuan wars itu didasarkan kepada kemaha-Tahuan Allah SWT tentang hikmah dan manfaatnya. Adapun kata halimun menunjukkan bahwa Allah tidak akan menghukum atau menyiksa secara langsung kepada orag yang melanggar ketentuan atau aturan-Nya itu, akan tetapi mundanya sampai akhir kiamat nanti.
b.      Pori Anak Perempuan
Porsi Anak Perempuan tidakmengalami reaktualisasi. Pasal 176 KHI mengatur besarnya bagian anak perempuan, baik seorng, berbilang (fauqasnatain), maupun bersama-sam dengan anak laki-laki. Ketentuan tersebut berpedoman kepada Surah Al-Nisa: 11. Dalam hal ini, anak perempuan dan anak laki-laki mendapatkan bagian sebgagai berikut:
1)      Seorang anak permpuan mendapat setengah (1/2).
2)      Dua orang anak perempuan atau lebih duapertiga (2/3).
3)      Formulasibagian anak laki-laki dan anak perempuan 2:1.
c.       Formulasi Bagian Ayah
Dengan semangat memperhatikan adanya kepastian hukum bagian untuk ayah mengalami reformasi. Hal itu diatur dalam pasal 177 KHI sebagai berikut:
1)      Ayah mendapat bagian sepertiga (1/3) jika muwaris tidak meninggalkan anak;
2)      Ayah mendapat bagian seperenam (1/6) jika meninggalkan anak;
d.   Peluang Perdamaian dalam Pembagian
            KHI mengapresiasi semangat perdamaian (al-shulh), yang didasrkan atas kesepakatan bersma. Melalui Psal183 Khi, pembagian waris dapat ditempuh melalui perdamaian, yaitu setelah disepakati oleh para ahlli waris mengenai jumlah bagian yang menyimpang dari ketentuan Pasal 176 KHI. Dalam hal ini, para ahli waris harus mengetahui dan menydari terlebih dahulu bagiannya masing-masing. Selanjutnya para ahli waris menyepakati langkah pembagian yang akan dilakukan berikutnya, misalnya sebagian hak ahli waris yang perekonomiannya masih lemah, sehingga secara kumulatif bagian masing-masing menjadi berubah dan berbeda dari ketentuan normatif Pasal 176 KHI.
e.    Penertiban warisan anak yang belum dewasa
            Dalam rangka melakukan penertiban warisan yang diperoleh anak yang belum dewasa diangkat “wali”, sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KHI, yang menggariskan:
1)      Untuk menjamin terpeliharanya keutuhan harta waris yang menjadi bagian anak yang belum dewasa, diangkat”wali”;
2)      Pengangkatan wali berdasarkan putusan Pengadilan Agama;
3)      Perwalian berlangsung s.d. anak berumur 21 tahun (pasal 107 KHI);
4)      Wali sedapat mungkin dari keluarga anak (Pasal 107 ayat 4 KHI);
5)      Perwalian meliputi diri dan harta kekayaan si anak (Pasal 107 ayat 2 Khi);
6)      Wali bertanggung jawab atas harta yang berada di bawah perwaliannya (pasal 10 ayat 3 KHI);
7)      Wali dilarang mengikat, mebebani, dan mengasingkan harta yang berda di bawah perwaliannya (Pasal 110 ayat 2 KHI);
8)      Pertanggung jawaban wali harus dibuktikan dengan pembukuan yang ditutup setiap tahun sekali (pasal 110 ayat 4 KHI).
f.     Ahli WarisPengganti
            Ahli Waris Pengganti dapat dipahami melembagakan Plaatsvervulling (penggantian tempat) secara modifikasi. Pasal 185 KHI menagtur Ahli waris Pengganti (AWP). Penerimaan lembaga AWP ini tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Misalnya, apabila AWP seorang saja dan ayahnya hanya mempunyai seorang saudara perempuan saja, maka harta waris dibagi dua antara AWP dengan bibinya.
g.    Lahan Pertnian Kurang 2 hektar
            Perihal harta warisan yang luasnya kurang dari 2 hektar, maka pasal 189 KHI mengatur sebagai berikut:
1)      Dalam ayat (1) diatur : Apabila harta peninggalan berupa lahan pertanian yang luasnya kurang dari 2 hektar, maka harta warisan itu supaya dipertahankan kesatuannya sebagiaman semula dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama paraahli waris yang bersangkutan,
2)      Dalam ayat (2) diterangkan: Bila ketentuan tersebut (ayat 1) tidak dimungkinkan karena di antara para ahli warus yang bersangkutan ada yang memerlukan uang, maka lahan tersebut dapat dimiliki oleh seorang ahli waris atau lebih dengan cara membayar harganya kepada ahli waris yang berhak sesuai degan bagiannya masing-masing.
h.    Modekasi Wasiat Wajibah
            Pasal209 ayat (2) Khi mengatur tentang wasiat wajibah. Dalam pengertian ini waiat wajibah berarti “suatu perbuatan wasiat yang secara hukum harus dipandang ada, meskipun wasiat itu tidak pernah ada”. Wasiat wajibah itu mengatur wasiat karena adanya hubungan kemanusiaan antara anak angkat dengan ayah/ibu angkatnya.
            Pasal 209 KHI itu alih-alih sebagai strategi menempatkan staus anak angkat di luar ahli wris dengan modekasi melalui “wasiat wajibah”. Peristiwa Zaid bin Haritsah  sangat kental dalam ingatan para perumus KHI, sehingga tidak ada yang berani memasukan anak angkat ke dalam lajur ahli waris. Dalam Pasal 171 huruf h KHI dijelaskan, bahwa: Status anak angkat itu hanya terbatas pada peralihan:
1)     Pemeliharaan hidup sehari-hari;
2)     Tanggungjawab pendidikan yang keabsahan statusnya didasarkan atas putusan pengadilan.


Kesimpulan
            Di Indonesia pada umumnya aturan kewarisan mengadopsi aturan yang ada dalam buku-buku fikih, yang merujuk pada nash al-Qur’an, teks hadis Nabi, dan ijma’ fukaha. Namun, dalam bebrapa hal KHI mengakomodir tradisi lokal dan tuntutan beberapa pihak, terutama wanita.
            Mengingat di dalam fiqh tersebut terdapat beberapa bagian yang sangat dominan dipengaruhi oleh sosiokultural masyarakat Timur Tengah, maka sangat beralasan apabila fiqh-fiqh tersebut tidak semuanya sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat, yang memiliki hukum-hukum kebiasaan yang berbeda dengan negara-negara lain.
            Almarhum Hazairin dan T.M. Hasbi As-Shidieqy yang menganjurkan disusunnya Fiqh Islam Indonesia, yang berorientasi kepada kepentingan, kebutuhan, dan kesadaran hukum masyarakat Islam Indonesia berdasarkan Syari’at Islam yang abadi yang terdapat dala al-Qur’an dan al-Hadits. Kearifan para elit Muslim itu telah menyadarkan para ahli hukum Islam lainnya untuk menggagas adanya reformulasi hukum Islam dalam bidang kewarisan yang berwawasan keIndonesiaan.
            Secara umum, garis hukum yang dirumuskan dalam KHI mempedomani kaidah-kaidah hukum yang terdapat dalam faraidh.


[1] Joseph Schacht. Pengantar Hukum Islam, hlm. 217.
[2] Asep saepudin Jahar, Euis Nurlaelawati, jaenal aripin. Hukum Keluarga, Pidana, & Bisnis (Jakarta: KENCANA PRENAMEDIA GROUP, 2003), hlm 72-73.

Comments

Popular posts from this blog

HELLENISME

HELENISME MAKALAH Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “FILSAFAT UMUM” Dosen pembimbing SAIFUL MUJAB, S.TH.I., MA.   Disusun oleh:   1.Riadhotul Jannah       (933100615) 2.Prasetyaningtias      (933100915) 3.Moh.Ghozali           (933101815)  4.Fahmi fakhruddin G (933102515) JURUSAN USHULUDDIN PRODI PERBANDINGAN AGAMA SEKOLAH TINGGI  AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KEDIRI 2016 KATA PENGANTAR Dengan puji Syukur kehadirat Allah senantiasa melimpahkan Rahmad dan Hidayah-Nya kepada kami sehingga kami bisa menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik meskipun jauh dari kesempurnaan. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Yang  telah menunjukkan kepada kita semua dari jalan yang batil menuju jalan yang hak yaitu dengan adanya Agama islam. Dan tidak lupa kami ucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya kepada Bapak Mujab selaku Dosen matakuliah filsafat umum  yang telah membimbing kami dengan sebaik-baiknya dalam pembuatan makalah ini. Dan apabila masih ba

Antropologi

DINAMIKA MASYARAKAT dan KEBUDAYAAN MAKALAH Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “ ANTROPLOGI ” Dosen pembimbing ZUHRI HUMAIDI Disusun oleh: 1.       FAHMI FAKHRUDDIN G         (933102515) 2.       MOH. GHOZALI                        (933101815) 3.       ACHMAD ANWAR S                 (933102115)     JURUSAN USHULUDDIN PRODI PE RBANDINGAN AGAMA SEKOLAH TINGGI   AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KEDIRI 2016 BAB I PENDAHULUAN     A.     Latar Belakang Kebudayaan merupakan salah satu cara hidup manusia. Manusia mempunyai salah satu sifat yang paling mendasar yaitu berubah atau melakukan perubahan. Perubahan tersebut tentu mempengaruhi cara – cara hidup manusia beserta masyarakat sekitarnya sehingga terjadilah perubahan kebudayaan atau yang disebut dengan dinamika kebudayaan. Dinamika kebudayaan merupakan suatu hal yang unik dan menjadi perhatian para ahli antropologi. Para ahlipun banyak meneliti hingga terlahirlah konsep – konse

COVER makalah IAIN Kediri

ISLAM UNTUK SELURUH MANUSIA MAKALAH Disusun guna untuk memenuhi tugas mata kuliah TAFSIR TEMATIK Dosen Pengampu : Prof. Fauzan Saleh, Ph.D Disusun oleh : FAHMI FAKHRUDDIN GHOZALY (931325314) PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA JURUSAN USULUDDIN dan ILMU SOSIAL SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KEDIRI 201 6